Daun

Hujan salju

fade

KONTAK SAYA

Email Twitter Facebook

TELUSURI

GALERI FOTO

Kategori Arsip Daftar Isi

MULAI DARI SINI

Pelayanan Portfolio Pembayaran

17 Oktober 2012

Rahasia Di Balik Nama MUHAMMAD


Rahasia dibalik nama Muhammad, dimana banyak makna yang tersirat dalam kebesaran nama yang sederhana itu. entah apakah ini merupakan salah satu mukjizat atau sekedar kebetulan saja, bahwa ada fakta menarik di abjad/huruf-huruf yang tersusun dari nama itu:

1. Kata Muhammad, jika kita gabungkan dalam bentuk normal mim ha mim dal, maka akan menjadi sebuah sekesta seorang manusia. sudah maklum adanya bahwa sebaik-baik mahluk / ciptaan yang pernah diciptakan oleh Tuhan di alam semesta ini adalah manusia dengan kelebihan aqal mereka, sementara mahluk lain hanyalah hayawan dan planet-planet yang penuh rahasia.

Manusia Sempurna:


2. kata Ahmad, jika kita cermati satu-persatu hurufnya mak huruf-huruf itu akan mennggambarkan sosok orang yang sedang melakukan sholat, tahukah kita bahwa sholat merupakan sebaik-baik doa dan ibadah yang pernah diperintahkanNya.

Ahmad Terpisah:


3. Kata Muhammad jika digabungkan huruf-hurufnya maka akan berbentuk layaknya manusia yang sedang sujud dalam shalat. dalam ritual sholat Sujud merupakan inti dari semua rukun-rukunnya, karena pada saat sujud manusia menundukkan 8 bagian tubuhnya di bumi bukti kepasrahan total kepada sang pencipta. hmmm betapa rahasia Tuhan sangat menggetarkan hati, saya yakin masih banyak tersirat rahasia-rahaisa lain dibalik sosok, nama dan semua yang berkaitan dengan sang kekasih sejati 'Habibullah: Muhammad'.
Subhannallah...

Kecamatan MUARA JAYA: Asal Kata LONTAR dari mana ya...?

Kecamatan MUARA JAYA: Asal Kata LONTAR dari mana ya...?

14 Oktober 2012

Defenisi dan Teori dalam Pragmatik

DEFENISI DAN TEORI DALAM PRAGMATIK SERTA PERBEDAAN ANALISIS LINGUISTIK STRUKTURAL DENGAN ANALISIS PRAGMATIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistic yang mempelajari bahasa secara eksternal, yaitu mengenai bagaimana penggunaan satuan kebahasaan didalam peristiwa komunikasi dimana makna yang dikaji ilmu pragmatik merupakan makna yang terikat konteks atau dengan kata lain mengkaji penutur dalam pristiwa komunikasi.
Situasi tutur merupakan hal yang penting dalam ilmu pragmatik karena situasi tutur dapat mempengaruhi makna dari apa yang dituturkan oleh penutur,
Hal inilah yang membedakan ilmu pragmatik dengan cabang ilmu linguistic lainnya seperti sintaksis, morfologi, semantic dan sebagainya yang kajiannya bukan terhadap penuturan dari penutur melainkan lebih kepada makna, maksud dan tujuan serta komposisi-komposisi baku lainnya dalam wacana atau teks tertulis.

1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Pragmatik?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan situasi tutur?
1.2.3 Apa perbedaan analisis linguistic structural dengan analisis
               pragmatik?

1.3  Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain :
1.3.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud Pragmatik
1.3.2 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan situasi tutur
1.3.3 Untuk mengetahui perbedaan analisis linguitik structural
        dengan analisis pragramatis

1.4  Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari makalah ini yaitu :
1.4.1 Bagi mahasiswa, khususnya jurusan Bahasa Indonesia, makalah ini dapat dipakai pedoman dan referensi dalam memahami mata kuliah pragmatik
1.4.2 Bagi pembaca secara umum, makalah ini dapat digunakan sebagai penuntun dalam mendalami dan memandang bahasa sebagai tanda yang berhubungan dengan penggunaannya dalam konteks interaksi yang terjadi secara alami (maksud)


BAB II
PEMBAHASAN
1.1.Defenisi Pragmatik
Sebagai ilmu kajian bahasa, linguistik memiliki berbagai cabang ilmu, antara lain: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Fonologi merupakan cabang linguistik yang mengkaji seluk-beluk bunyi bahasa. Morfologi merupakan cabang linguistik yang mengkajiseluk-beluk morfem dan penggabungannya. Sintaksis merupakan cabang linguistik yang mengkaji penggabungan satuan-satuan lingual berupa kata yang dapat membentuk satuan kebahasaan lebih besar, seperti: frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semantik merupakan cabang linguistik yang mengkaji makna satuan-satuan lingual, baik makna leksikal maupun gramatikal. Sedangkan pragmatik merupakan cabang linguistik yang mengkaji struktur bahasa secara eksternal, yakni penggunaan satuan kebahasaan dalam komunikasi.
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (http://dimasmadang.wordpress.com/definisi-pragmatik/), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu
1.      bidang yang mengkaji makna pembicara;
2.      bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya;
3.      bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
4.      bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Sedangkan Thomas (http://dimasmadang.wordpress.com/definisi-pragmatik/) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya, dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (http://dimasmadang.wordpress.com20081124definisi-pragmatik) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
Pendapat yang agak berbeda tentang pragmatik disampaikan oleh Morris (http://guru-umarbakri.blogspot.com/200905/kajian-bahasa.html) Pragmatik sebagai suatu kajian ilmu muncul dari pandangan Morris tentang semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda atau lambang. Morris membagi semiotik ke dalam tiga cabang ilmu, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Sintaksis mempelajari hubungan antara lambang dengan lambang lainnya, semantik mempelajari hubungan antara lambang dengan objeknya, dan pragmatik mempelajari hubungan antara lambang dengan penafsirnya.
Achmad Sani Saidi (2010:4) menyimpulkan dari definisi para ahli bahwa pragmatik adalah kajian tentang penggunaan atau menelaah makna bahasa yang berkaitan erat dengan unsure konteks peserta tutur.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan aspek-aspek ilmu bahasa dan aspek-aspek nonbahasa. Aspek-aspek ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana.
1.2. Topik Pembahasan Dalam Pragmatik

Situasi Tutur
Ahmad Sani Saidi (2010:4) Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menaksirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran. Kancah yang dipelajari pragmatik ada empat yaitu :
1.      Dieksis.
Menurut KBBI deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. Hasan Alwi menyatakan deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan (http://guru-umarbakri.blogspot.com/200905/belajar-pragmatik.html).
Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah di ketahui di mana kata itu di ucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan. Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap.
Deiksis didefinisikan sebagai ungkapan yang terikat dengan konteksnya. Contohnya dalam kalimat “Saya mencintai dia”, informasi dari kata ganti “saya” dan “dia” hanya dapat di telusuri dari konteks ujaran. Ungkapan-ungkapan yang hanya diketahui hanya dari konteks ujaran itulah yang di sebut deiksis.
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah kata-kata penutur yang hanya dapat ditafsirkan maknanya dengan melihat situasi dimana penutur melakukan pembicaraan
Menurut Levinson (http://guru-umarbakri.blogspot.com/200905/belajar-pragmatik.html) Deiksis dapat di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time), tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social). Deiksis orang berkenaan dengan penggunaan kata ganti persona, seperti saya (kata ganti persona pertama), kamu (kata ganti persona kedua). Contoh Bolehkah saya datang kerumahmu? Kata saya dan -mu dapat dipahami acuannya hanya apabila diketahui siapa yang mengucapkan kalimat itu, dan kepada siapa ujaran itu ditujukan.
a.       Deiksis waktu berkenaan dengan penggunaan keterangan waktu, seperti kemarin, hari ini, dan besok. Contoh, Bukankah besok hari libur? Kata besok memiliki rujukan yang jelas hanya apabila diketahui kapan kalimat itu diucapkan.
b.      Deiksis tempat berkenaan dengan penggunaan keterangan tempat, seperti di sini, di sana, dan di depan. Contoh duduklah di sini!. Kata di sini memiliki acuan yang jelas hanya apabila diketahui dimana kalimat itu diujarkan.
c.       Deiksis wacana berkaitan dengan penggunaan ungkapan dalam suatu ujaran untuk mengacu pada bagian dari ujaran yang mengandung ungkapan itu (termasuk ungkapan itu sendiri), seperti berikut ini, pada bagian lalu, dan ini. Contoh, kata that pada kalimat that was the funniest story ever heard. Penanda wacana yang menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat lain. Seperti any way, by the way, dan di samping itu juga termasuk dalam deiksis wacana. Deiksis sosial berkenaan dengan aspek ujaran yang mencerrminkan realitas sosial tertentu pada saat ujaran itu dihasilkan. Penggunaan kata Bapak pada kalimat “Bapak dapat memberi kuliah hari ini?” Yang diucapkan oleh seorang mahasiswa kepada dosennya mencerminkan deiksis sosial. Dalam contoh di atas dapat diketahui tingkat sosial pembicara dan lawan bicara. Lawan bicara memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi dari pada pembicara.

2.      Praanggapan (Presupposition)
Brown dan Yule (www.jurnallingua.com) Praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan; atau “What a speaker or writer assumes that the receiver of the missage alredy knows”. Asumsi tersebut ditentukan batas-batasannya berdasarkan anggapan-anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh lawan bicara tanpa tantangan. Sebagai ilustrasi perhatikan percakapan di bawah ini:
A: bagaimana kalau kita mengundang jhon malam ini?
B: Waw!! Ide yang bagus; ia dapat memberikan tumpangan kepada
     Monica
Praanggapan yang terdapat dalam percakapan di atas antara lain adalah (1) Bahwa A dan B kenal dengan John dan Monica, (2) bahwa John memiliki kendaraan – kemungkinan besar mobil, dan (3) bahwa Monica tidak memiliki kendaraan saat ini.
Dari contoh di atas dipahami bahwa apabila suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna, yang tidak dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu (umarbakri.blogspot.com/200905/belajar-pragmatik.html).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Praanggapan adalah anggapan-anggapan yang mungkin diterima oleh penyimak dari apa yang didengarnya melalui penutur.
3.      Tindak Tutur
Plat dan Plat mendefenisikan Tindak tutur sebagai suatu tuturan/ujaran yang merupakan satuan fungsional dalam komunikasi (jurnallingua.com). Kata-kata yang diungkapkan oleh pembicara memiliki dua jenis makna sekaligus, yaitu makna proposisional atau makna lokusi dan makna ilokusi. Makna lokusi adalah makna harfiah kata-kata yang terucap itu. Untuk memahami makna ini pendengar cukup melakukan decoding terhadap kata-kata tersebut dengan bekal pengetahuan gramatikal dan kosa kata. Makna ilokusi merupakan efek yang ditimbulkan oleh kata-kata yang diucapkan oleh pembicara kepada pendengar. Sebagai ilustrasi, dalam ungkapan “saya haus” makna lokusinya adalah pernyataan yang menggambarkan kondisi fisik pembicara bahwa Ia haus. Makna ilokusinya adalah efek yang diharapkan muncul dari pernyataan tersebut terhadap pendengar. Pernyataan tersebut barangkali dimaksudkan sebagai permintaan kepada pendengar untuk menyediakan minuman bagi pembicara.
Dari uraian di atas tampak bahwa tindak tutur (speech act) merupakan fungsi bahasa , yaitu tujuan digunakan bahasa, seperti untuk memuji, meminta maaf, memberi saran, dan mengundang. Fungsi-fungsi tersebut tidak dapat ditentukan hanya dari bentuk gramatikalnya, tetapi juga dari konteks digunakannya bahasa tersebut. Sebagai contoh, Kalimat deklaratif yang secara tradisional digunakan untuk membuat pernyataan  dapat digunakan untuk menyatakan permintaan atau perintah.
Oleh karena itu, dalam teori tindak tutur (speech act) dikenal istilah tindak tutur tidak langsung (indirect speech act), yaitu tindak tutur yang dikemukakan secara tidak langsung (www.jurnalingua.com). Contoh:
A: Kemarau nihhh!!!
B: Bu, saya haus
Kalimat (1) adalah contoh tindak tutur tidak langsung, dan kalimat (2) adalah kalimat contoh tindak tutur langsung. Dalam komunikasi sehari-hari, tindak tutur langsung sering dianggap lebih sopan dari pada tindak tutur langsung, terutama apabila berkaitan dengan permintaan dan penolakan.
4.      Implikatur Percapakan
Istilah implikatur dipakai oleh Grice untuk menerangkan apa yang mungkin di artikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur itu (www.jurnallingua.com).
Menurut Levinson (Sani Saidi, 2010:6) kami simpulkan bawha, implikatur percakapan merupakan penyimpangan dari muatan semantik suatu kalimat dengan menyederhanakan struktur dan isinya namun dapat menjelaskan fakta bahasa secara tepat.
Contoh :
A : Apa mobil sudah ada bu?
B : Bapak belum pulang kerja.
Dari contoh diatas kalimat A dan B tidak menunjukkan kaitan secara normalnya. Namun kedua pembicara sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikan sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama sebab ia tahu bahwa mobil masih dipakai Bapak bekerja dan artinya mobil belum ada dirumah.

1.3.Perbedaan Analisis Linguitik Struktural Dengan Analisis Pragmatik
Analisis linguistik struktural merupakan pengkajian suatu kalimat atau wacana dengan menjadikan bentuk-bentuk lingual tanpa mempertimbangkan situasi tutur sebagai dasar pengkajian, sehingga penganalisisannya bersifat formal.
 Kita ambil contoh kalimat/teks iklan Nasi Goreng Kokita dianalisis secara linguistik struktural, setidak-tidaknya akan diperoleh kesimpulan bahwa dalam teks iklan itu terdapat:
Regu tembak : Coba katakan, apa permintaan terakhirmu?
Tahanan : Nasi goreng Kokita.
Regu tembak dan tahanan : Hm!
1.      klausa interogatif-informatif, yaitu pada kalimat “Coba katakan, apa permintaan terakhirmu?” dengan penanda perintah “coba”, predikat “katakan”, kata Tanya “apa” sebagai predikat, dan subjeknya “permintaan terakhirmu”.
2.      kalimat jawaban, yaitu pada kalimat “Nasi goreng Kokita.” berupa frase nomina atributif yang menduduki fungsi predikat.
3.      kalimat minor, yaitu pada kalimat “Hm!” berupa kalimat seru yang terdiri atas interjeksi.
Bila diteruskan dengan menggunakan analisis gramatika secara formal, biasanya penganalisisan secara linguistik struktural itu akan dilanjutkan pada tataran subklausa, kata, dan morfem. Analisis formal seperti ini tidak akan menangkap maksud penulisan teks iklan tersebut, bila pendekatan pragmatik untuk melengkapinya tidak digunakan.
Sedangkan Analisis pragmatik merupakan pengkajian suatu kalimat atau wacana dengan mempertimbangkan situasi tutur yang dapat melahirkan kesimpulan tersirat dalam kalimat atau wacana tersebut. Analisis pragmatik ini dapat dilihat dalam wacana berupa teks iklan bumbu masak nasi goring Kokita berikut.
Regu tembak : Coba katakan, apa permintaan terakhirmu?
Tahanan : Nasi goreng Kokita.
Regu tembak dan tahanan : Hm! (Makan nasi goreng bersama-sama)
Dari teks iklan tersebut, secara analisis pragmatik diperoleh kesimpulan bahwa nasi goreng dengan bumbu masak Kokita sangat lezat. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan hasil perbandingan teks tersebut dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa, bila seorang tahanan yang akan menjalani eksekusi di depan regu tembak ditanyai tentang permitaan terakhirnya, maka jawaban yang disampaikannya adalah “Ingin bertemu dengan keluarga atau teman terdekat”. Namun, dalam teks iklan itu ternyata tahanan menjawab “Nasi goreng Kokita”.Hal ini menunjukkan bahwa, makan nasi goreng dengan bumbu masak Kokita dipandang lebih penting daripada bertemu dengan anak dan istri. Jadi dalam teks iklan itu diungkapkan secara tersirat bahwa, bumbu masak Kokita sangat lezat, sehingga dapat melupakan anak dan istri, serta kedudukan dan kewajiban regu tembak terlupakan karena ikut menikmati nasi goreng dengan bumbu masak Kokita yang diminta tahanannya. Dengan demikian, jawaban “Nasi goreng Kokita” yang diungkapkan tahanan, bukanlah sekedar informasi biasa, tetapi merupakan informasi yang memiliki daya persuasi yang kuat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahwa perbedaan antara Analisis Linguistik dan Analisis Pragmatik adalah terletak pada aspek analisisnya. Jika pada analisis linguistic struktur yang dikaji adalah aspek yang berhubungan dengan struktur kebahasaanya (fonologi, sintaksis, semanttik, morfologi) sedangkan pada kajian pragmatik yang dikaji adalah situasi tutur yang dapat menimbulkan makna sebenarnya secara tidak langsung.
 
BAB III
KESIMPULAN

Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan aspek-aspek ilmu bahasa dan aspek-aspek nonbahasa. Aspek-aspek ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana.
Dalam pembahasannya ada 4 kancah yang dipelajari dalam ilmu pragmatik yaitu : Deiksi, Praanggapan, Tindak Ujar dan Implikatur Percakapan.
Perbedaan antara Analisis Linguistik dan Analisis Pragmatik adalah terletak pada aspek analisisnya. Jika pada analisis linguistic struktur yang dikaji adalah aspek yang berhubungan dengan struktur kebahasaanya (fonologi, sintaksis, semanttik, morfologi) sedangkan pada kajian pragmatik yang dikaji adalah situasi tutur yang dapat menimbulkan makna sebenarnya secara tidak langsung melalui keempat kancah yang dibahas dalam ilmu pragmatik ini.
Daftar Pustaka

Dimas. Defenisi Pragmantik, (online) , (http://dimasmadang.wordpress.com/definisi-pragmatik/) diakses 2 Maret 2012
Sani Saidi, Achmad. 2010. Bahan Ajar Pragmatik. Palembang: Universitas PGRI Palembang
________, Belajar Pragmatik, (online), (http://guru-umarbakri.blogspot.com/200906/belajar-pragmatik.html), diakses 2 Maret 2012
Kamus Besar Bahasa Indonesia
________, pragmatic, (online), (www.jurnallingua.com), diakses 2 Maret 2012
________, kaijian bahasa, (online), (http://guru-umarbakri.blogspot.com/200905/kajian-bahasa.html) , diakses 2 Maret 2012.

Legenda Ratu Bagus Kuning

Legenda Ratu Bagus Kuning

Pada masa kesultanan Palembang Darussalam, sekitar abad ke-16, di wilayah Batanghari Sembilan mulai masuk penyebar agama Islam. Salah satu diantaranya adalah seoraong perempuan yang dianggap suci bernama Bagus Kuning. Konon ia adalah salah satu murid dari Sembilan wali di pulau Jawa yang dikenal dengan nama Walisongo. Kehadiran Bagus Kuning di Palembang juga adalah karena ingin menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosong Batanghari Sembilan.
Perjalanan menuju Palembang tidaklah mudah, banyak halangan dan rintangan yang harus ia hadapi dan atasi. Demikian pula dengan ajaran yang disampaikannya, tidak begitu saja dapat diterima oleh penduduk setempat. Bahkan ia harus sering bertarung dan siap mengorbankan jiwanya demi menyebarkan ajaran Rasulallah saw. Untunglah ia memiliki kesaktian yang cukup hebat untuk membela diri sehingga banyak musuh yang takluk dan turut memeluk agama Islam.
Ketika Bagus Kuning memasuki wilayah Batanghari, ia pun harus berhadapan dengan para pendekar setempat yang berilmu tinggi. Namun, ia tetepa menghadapi semuanya dengan tabah dan dengan satu keyakinan bahwa Allah swt. Pelindunganya yang sejati. Pada akhirnya ia pun maampu menaklukkan para pendekar diwilayah Batanghari dan bahkan mereka menjadi pengikut Bagus Kuning yang setia. Para pengikutnya kini konon dijadikannya penghulu atau penguasa untuk daerahnya masing-masing. Di wilayah Batanghari konon katanta ada 11 penghulu yang dipercaya sebagai pengikut setia Bagus Kuning. Mereka adalah Penghulu Gede, Datok Boyong, Koncong Mas, Panglima Bisu, Panglima Apo, Syeikh Ali Akbar, Syeikh Maulana Malik Ibrahim Asmoro, Syeikh Idrus, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, dan Bujang Juaro.
Setelah mampu menguasai wilayah Batanghari, Bagus Kuning dan anak buahnya pun memasuki bagian tengah Kota Palembang. Lantas mereka singgah dibagian hulu kota yang bernama Plaju. Di tempat ini terdapat suatu daratan indah yang ditumbuhi batang-batang pohon besar. Mereka pun lalu memutuskan untuk beristirahat di tempat yang nyaman itu.
Setelah malam, Bagus Kuning baru menyadari bahwa tempat tersebut bukanlah tempat yang aman. Tempat yang berada di tepian Sungai Musi itu ternyata merupakan wilayah kerajaan Siluman Kera. Para siluman kera di tempat ini merasa terganggu dengan kehadiran rombongan Bagus Kuning. Lantas mereka pun mencoba untuk menakut-nakuti rombongan Bagus Kuning ini.
“Maaf, kami tidak bermaksud untuk mengganggu. Kami hanya menunpang singgah untuk melepas lelash karena kami lihat tempat ini cukup indah dan nyaman,” ujar Bagus Kuning kepada rombongan siluman kera.
Namun, para siluman kera tidak mau tahu. Mereka mengancam akan membunuh dan membantai rombongan Bagus Kuning jika mereka tidak mau pergi meninggalkan wilayah kekuasaan siluman kera ini.
“Kami mendengar bahwa kalian adalah para penyebara ajaran Islam, pantang bagi kami untuk melepaskan kalian karena itu sama saja kami membantu kalian!” Ujar Raja Siluman Kera.
Tampaknya percekcokan antara Bagus Kuning dan Raja Siluman tak dapat dielakkan lagi dan keduanya sama-sama tidak mau mengalah. Akhirnya pertarunganpun tak dapat terhindarkan lagi. Mereka dan pasukannya masing-masing saling menyerang dan saling adu kekuatan.
“Hai Raja Siluman Kera, aku tidak mau mengorbankan banyak teman-temanky hanya untuk menghadapimu. Sebagai pemimpin disini aku ingin mengajukan sebuah perjanjian kepadamu, jika aku kalah menghadapi satu lawan satu makan aku akan tunduk kepadamu. Sebaliknya, jika kau yang ku kalahkan maka kau harus tunduk kepadaku!’’ tantang Bagus Kuning.
“Tidak masalah bagiku, hai Bagus Kuning! Hai rakyatku, kalianlah saksi atas perjanjian ini yang mana jika aku dapat dikalahkan oleh perempuan ini maka aku dan juga kalian harus tunduk dan patuh terhadap manusia perempuan ini. Bahkan jika kau menang hai Bagus Kuning maka akan ku angkat kau sebagai ratu kami.” Balas Raja Siluman Kera dengan nada yang agak meremehkan.
Para siluman kera pun segara menepi untuk member ruang para Raja mereka. Demikian pula para pengikut Bagus Kuning yang juga menepi sambil terus melafalkan doa-doa keselamatan dan kemenangan bagi mereka.
Pertarungan akhirnya dimulai. Bumi bagaikan bergetar, pohon-pohon pun bergoyang bagikan diayun-ayun angin besar, suara gemuruh mengiringi pertarungan ini tapi tak ada angin. Ini semua karena kesaktian Raja Siluman dan kekuatan karomah Bagus Kuning. Kedua-duanya adalah orang yang memiliki kekuatan yang sangat hebat dan seimbang sehingga keduanya susah untuk merubuhkan musuh masing-masing.
Setelah beberapa lama, sejak pertarungan yang dimulai pagi hari kini matahari pun telah berdiri tegak menyinari dengan teriknya akhirnya Nampak jualah siapa yang bakal menjadi pemenang dalam pertarungan ini. Beberapa kali Raja Siluman Kera terbanting keras. Darahpun banyak keluar dari mulut dan hidungnya. Napasnya pun makin tersengal-sengal dan wajahnya pucat. Namun sesekali ia masih dapat membalas dengan usahanya yang sangat berat. Tapi karena kondisinya yang cukup parah setelah mendapatkan terjangan maut dari Bagus Kuning ia pun roboh dan sang Raja Siluman kera ini mengaku kalah (menyerah).
“Baiklah Bagus Kuning, hamba mengaku kalah, hamba menyerah. Kami semua takluk padamu.” Kata Raja Siluman kera dengan lantang sambil bersujud dan memberi hormat kepada Bagus Kuning yang diikuti oleh para siluman kera yang lain.  “Selanjutnya, setelah ini maka perjanjian yang kita buat tadi harus dijalankan, kau lah Ratu kami hai Bagus Kuning.” Lanjut Raja Siluman Kera dan diikuti oleh penghormatan oleh para siluman kera lainnya.
“Baiklah, tapi kalian tidak perlu bersujud begikut karena hal yang demikian ini adalah tidak patut dilakukan karena aku hanyalah seorang manusia biasa begitu juga kalian yang merupakan sama-sama makhluk Allah, bagiku hanya Dia (Allah swt) yang patut disembah dan patut dimintai pertolongan.’’ Kata Bagus Kuning.
Bagus Kuning pun akhirnya menetap di tempat itu bersama para pengikutnya. Sampai kemudian para pengikutnya sepakat mendirikan keraton dengan Bagus Kuning sebagai Ratunya. Sejak saat itu namanya resmi menjadi Ratu Bagus Kuning dan para siluman kera pun tetap menetap di tempat itu dan tetap tunduk pada Ratu Bagus Kuning hingga pada suatu hari Ratu Bagus Kuning pun wafat dan disemayamkan di lokasi keraton nya. Para pengikutnya tetap setia dan terus menyebarkan ajaran Islam ke wilayah-wilayah lain. Para siluman kera pun tetap setia menunggui makam Ratu Bagus Kuning. Konon, sampai wafatnya Ratu Bagus Kuning tetap menjadi perempuan yang suci dan ia tidak pernah menikah.
Sampai saat ini, lokasi tempat keraton Ratu Bagus Kuning dan sekitarnya disebut dengan Bagus Kuning yang terletak di Kecamatan Plaju, Kota Palembang. Kini lokasi keraton sudah tidak ada lagi karena tempat tersebut sejak zaman kolonial telah dijadikan lokasi perumahan karyawan perusahaan minyak pemerintah yang kini bernama Pertamina. Kini hanya tersisa makam yang dipercaya sebagai makam Ratu Bagus Kuning didalam kompleks perumahan pertamina dan diantara Lapangan Golf Plaju yang masih sering diziarahi oleh masyarakat muslim kota Palembang khususnya oleh waga Palembang keturunan Arab-Hadhramaut yang merasa memiliki kedekatan hubungan emosional dan garis keturunan yang sama karena di percaya pula bahwa Ratu Bagus Kuning adalah seorang Waliyah (Wali Perempuan) dan seorang Syarifah (Perempuan keturunan Nabi Muhammad saw).
Para Siluman Kera kini dipercaya masih tinggal diwilayah tersebut terutama di Stadion Patra Jaya Pertamina, Plaju yang konon katanya jumlah kera disitu tetap tidak berkurang dan tidak lebih. Wallahu a’lam bisshowaf.

Sejara Islam Masuk di OKU

Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Mungkin ada diantara kita yang merasa jemu dengan beragam perdiskusian dan perdebatan antar agama, antar madzhab dan sebagainya, sekedar untuk bacaan ringan, berikut saya coba gulirkan satu tulisan epik, mengenai sejarah masuknya Islam di Sumatera bagian Selatan, khususnya yang berhubungan langsung dengan Palembang, tanah kelahiran saya.
Diambil dari buku "Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya" oleh Drg. H. Muhammad Syamsu As. terbitan PT. Lentera Basritama 1996 M.
Semoga dengan hadirnya posting ini, semakin menambah wawasan kebangsaan dan keberagamaan kita, sehingga diharapkan tidak hanya sekedar ikut-ikutan didalam berpahaman sebagaimana yang diajarkan sejak kecil dibangku SD.

Kata Pengantar
Sudah sejak lama "diyakini" bahwa Islam masuk ke Indonesia lewat tangan orang-orang Gujarat dari India dan orang Persia. Dijaman penulis masih bersekolah di SD, SMP dan SMA, anggapan umum yang muncul adalah seperti itu. Buku-buku sejarah Indonesia yang menjadi bahan bacaan kala itu, semuanya mendukung teori tersebut, bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah orang Gujarat dan orang Persia.
Pada saat yang sama, kita mengetahui bahwa diberbagai wilayah negeri ini terdapat sebagian penduduk yang berketurunan Arab yang nota-bene beragama Islam. Darimana mereka ini ?
Tentu saja, berarti dahulu terdapat sejumlah orang Arab yang berhijrah kesini. Dan mereka ini adalah Muslim semua. Lalu, apakah mereka saat itu tidak menyebarkan Islam ? Jika memang tidak, berarti orang Arab yang datang ke Indonesia kala itu hanya bertujuan untuk berdagang. Padahal dalam sejarahnya, bangsa Arab selalu membarengi perjalanan dagangnya dengan aktivitas dakwah. Mungkinkah Indonesia terkecualikan dari kebiasaan ini ? Inilah yang menjadi pertanyaan penulis.

Belakangan umat Islam Indonesia beberapa kali mengadakan seminar tentang masuknya Islam di Indonesia, yaitu di Medan (1963), di Minangkabau (1969), di Riau (1975), di Aceh (1978-1980) dan terakhir di Palembang (1984).
Ternyata, kesimpulan semua seminar tersebut sama, yaitu bahwa Islam masuk di Indonesia secara langsung dari negeri Arab, bukan melalui tangan kedua, dan ini sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah.

A. Islam masuk di Sumatera Bagian Selatan
Ahmad Mansur Suryanegara, dalam makalahnya yang berjudul "Masuknya Agama Islam ke Sumatera Selatan" [1] menulis yang dapat penulis simpulkan garis besarnya sebagai berikut :
1. Berdasarkan pada besarnya pengaruh kekuasaan politik Islam dimasa itu, yaitu :
- Khulafaur Rasyidin 632-661 Masehi - Dinasti Umayyah 661-750 Masehi - Dinasti Abbasiyah 750-1268 Masehi - Dinasti Umayyah di Spanyol 757-1492 Masehi - Dinasti Fatimah di Mesir 919-1171 Masehi

2. Penguasaan jalan laut perdagangan oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Saat itu bangsa Arab telah menguasai perjalanan laut dari Samudra India yang mereka namakan Samudra Persia kala itu. Sejak pra Islam, maka Teluk Persia dengan pelabuhan Siraf dan Basra sebagai pusat perdagangan antara negara Arab, Persia, Cina dan negara Afrika.
Sekitar abad ke-10 Masehi, navigasi perdagangannya sampai ke Korea dan Jepang. Dalam perjalanan perdagangan dengan Cina, Korea, Jepang, ditengah perjalanan di Selat Malaka mengadakan hubungan dagang dengan Zabaj (Sriwijaya).
Seluruh kapal perdagangan yang melewati Selat Malaka singgah untuk mengambil air minum perbekalan lainnya. Beberapa pelabuhan pantai penting artinya bagi pelabuhan perbekalan. Begitulah Sriwijaya menguasai kota-kota pesisir seperti : Lampung, Jambi, Semenanjung Malaka, Tanah Genting Kra, bahkan Srilanka pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11.

3. Islam masuk didaerah Sriwijaya dapatlah dipastikan pada abad ke-7. Ini mengingat buku sejarah Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti T'ang yang memberitakannya utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 Masehi. Karena Sriwijaya sering dikunjungi pedagang Arab dalam jalur pelayaran, maka Islam saat itu merupakan proses awal Islamisasi atau permulaan perkenalan dengan Islam.
Apalagi jika di-ingat berita Cina dijaman T'ang tersebut telah ada kampung Arab Muslim di Pantai Barat Sumatera pada tahun 674 Masehi. Seperti halnya di Jawa adanya Makam Islam yang berangka tahun 1082 Masehi, demikian pula di Champa pada tahun 1039 Masehi. Makam-makam ini sudah ada sebelum kekuasaan Islam ada, artinya masih dalam kekuasaan non-Islam kala itu.

4. Seperti dikisahkan oleh penulis Arab yaitu Ibnu Rusta (900 M), Sulaiman (850 M) dan Abu Zaid (950 M), maka hubungan dagang antara Khalifah Abbasiyah (750 M - 1268 M) dengan kerajaan Sriwijaya tetap berlangsung.
Khusus untuk kawasan Sumatera Selatan, masuknya Islam selain oleh Bangsa Arab pedagang utusan dari Dinasti Umayyah (661 - 750 M) dan Dinasti Abbasiyah (750 - 1268 M) juga pedagang Sriwijaya sendiri berlayar kenegara-negara Timur Tengah.
Selanjutnya Ahmad Mansur Suryanegara [1] menulis bahwa sebenarnya kalau membicarakan masuknya agama Islam ke Indonesia atau ke Sumatera Selatan dengan sengaja meniadakan peranan bangsa Arab, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut hasil interprestasi sejarahnya. Perlu dipertanyakan apakah penulisnya membedakan antara pengertian masuknya Islam dengan telah berkembangnya Islam ?
Drs. M. Dien Majid dalam makalahnya berjudul "Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya" [2] menulis :
Arya Damar, seorang Adipati kerajaan Majapahit di Palembang, secara sembunyi-sembunyi telah memeluk agama Islam, karena diajari oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel) ketika singgah di Palembang dari Champa yang akan meneruskan perjalanannya kekerajaan Majapahit. Kemudian Arya Damar ini yang akhirnya dikenal dengan nama Arya Dillah atau Abdullah, berguru dengan Sunan Ampel di Ampel Denta ketika beliau sudah menetap disini. Dan ketika Arya Damar kembali ke Palembang, ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang bermukim di Palembang.

Dr. Taufik Abdullah dalam makalahnya yang berjudul "Beberapa aspek perkembangan Islam di Sumatera Selatan" [3] menulis :
Van Senenhoven pada tahun 1822 Masehi membawa 55 manuskrip Arab dan Melayu yang ditulis sangat indah serta dijilid rapi yang merupakan kepunyaan Sultan Mahmud Badaruddin. Raden Patah yang menurut tradisi historis adalah anak raja Majapahit, Prabu Brawijaya dengan puteri Cina, dilahirkan dan berguru di Palembang.
Maka setidaknya sejak akhir abad ke-16 Palembang merupakan salah satu "enclave" Islam terpenting atau bahkan Pusat Islam dibagian Selatan Pulau Emas ini. Hal ini bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh pedagang Arab Islam pada abad-abad kejayaan Kerajaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tidak pernah melepaskan keterikatannya dengan Palembang sebagai tanah asal.
Kejadian ini berarti peng-Islaman Palembang telah lebih lama daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa, bahkan jauh lebih dahulu dari Sulawesi Selatan (kerajaan Gowa dan kerajaan Laikang).
Diceritakan dalam buku sejarah "Sulu Mindanau" bahwa seorang Syarif yang bernama Syarif Abubakar yang berasal dari Palembang, telah menyebarkan Islam ke Sulu dan Mindanau, yang kemudian kawin dengan puteri setempat bernama Paramisuri.

Menurut H. Rusdy Cosim B.A. dalam makalahnya yang berjudul "Sejarah Kerajaan Palembang dan Perkembangan Hukum Islam" [4] mengemukakan :
Menukil kisah pelayaran Sulaiman didalam bukunya Akhbar As Sind Wal Hino yang diterjemahkan oleh R. Ramaudot, terbitan London 1733 Masehi, dinyatakan bahwa : "Seribuza (Sriwijaya) telah dikunjungi oleh orang-orang Arab Muslim, bahkan diantara mereka ini disamping mengadakan hubungan dagang juga menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk dan malah ada yang akhirnya menetap serta kawin dengan wanita setempat."
Ini memberi keyakinan kepada kita bahwa dengan kutipan diatas bahwa agama Islam telah masuk didaerah Sumatera Selatan pada masa kekuasaan Dapunta Hyang Sriwijaya.

Selanjutnya Rusdi Cosim B.A. juga menulis : Dimasa Sultan Muhammad Mansur, mencatat nama ulama besar yaitu Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad yang lebih terkenal dengan sebutan Tuan Fakih Jalaluddin yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam didaerah Komering Ilir dan Komering Ulu bersama-sama dengan ulama lainnya yaitu Sayid al-Idrus yang sekaligus merupakan nenek moyang masyarakat dusun Adumanis.
Disamping itu ada pula ulama-ulama dijaman Kesultanan, diantaranya : 1. Kyai Haji Kemas Abdul Somad (K.H.K. Abdul Somad Falembani) 2. Kyai Haji Masagus Abdul Hamid bin Masagus Mahmud (Kyai Marogan) dll.
Masuk dan berkembangnya agama Islam dibawa langsung oleh orang Arab Muslim, terutama akibat pertentangan antara kelompok Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan kelompok Alawiyin.
Disamping itu ada juga ulama-ulama dari Iran dan India, tetapi tidak mungkin mengatasi pengaruh Arab, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya.

Menurut Salmad Aly didalam makalahnya yang berjudul "Sejarah Kesultanan Palembang" [5] menulis:
Pada waktu Gede Ing Suro mendirikan Kesultanan Palembang, agama Islam telah lama ada dikawasan ini. Islam masuk Palembang kira-kira pada tahun 1440 M., dibawa oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel). Pada waktu itu Palembang berada dibawah kepemimpinan Arya Damar dan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit.
Mengenai Raden Rachmat ini, diceritakan oleh Arnold sebagai berikut : "Salah seorang puteri raja Campa, sebuah negara kecil di Kamboja, di Timur Teluk Siam, kawin dengan seorang Arab yang datang ke Campa untuk tugas dakwah Islam. Dari perkawinan ini lahir Raden Rachmat yang diasuh dan dididik oleh ayahnya menjadi seorang Islam sejati."
Selanjutnya, Kyai Gede Ing Suro ini, menurut Faile, adalah turunan Panembahan Palembang dan istrinya asal dari keluarga Sunan Ampel, ia adalah dari garis keturunan Panembahan Parwata, Pangeran Kediri dan Pangeran Surabaya.

Sementara dari sumber-sumber Palembang, diperoleh keterangan bahwa ia adalah putera Sideng Laut, salah seorang turunan Pangeran Surabaya. Dia masih memiliki hubungan silsilah dengan Sayidina Husein, putera dari Ali bin Abu Thalib, sepupu dan menantu langsung dari Nabi Muhammad Saw dari puteri kandung beliau Fatimah az-Zahra.
Salah seorang cucu Sayidina Husein merantau ke Campa, memperistrikan salah seorang puteri Campa yang kemudian melahirkan Maulana Ishaq dan Maulana Ibrahim.
Orang-orang Arab pada masa ini terdaftar sekitar 500 Jiwa yang kebanyakan tinggal ditepi sungai Musi, diantara mereka ada yang mendapat gelar dari Sultan, seperti Pangeran Umar. Mereka sering membantu Sultan ketika dibutuhkan.

Pada waktu Belanda menyerang Palembang tahun 1821 Masehi (dimasa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II yang akhirnya diasingkan ke Ternate), benteng Sultan dikepulauan Kemaro dan Plaju dipertahankan oleh orang-orang Arab. Hampir semua meriam dikedua benteng ini dipegang oleh orang-orang Arab.
Drs. Barmawie Umary didalam makalahnya "Masuknya Islam didaerah Ogan Komering Ulu dan Komering Ilir" [6] menulis :
Ada tiga orang ulama yang paling berpengaruh didaerah Komering Ulu dan Komering Ilir : 1. Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari/Raden Amar/Ratu Panembahan. 2. Tuan Tanjung Darus (Idrus) Salam 3. Tuan Dipulau/Said Hamimul Hamiem.
Ketiganya dikenal dengan populer oleh masyarakat sebagai Waliullah pembawa agama Islam. Keturunan seorang putera yaitu Raja Montik berputera Kyai Djaruan berputera Tuan Penghulu I berputera Tuan Ketip Kulipah I berputera Tuan Ketip Kulipah II yang berputera 2 orang; yaitu Tuan Penghulu II dan adiknya adalah Tuan Labai/Kyai Labai Djamal.

Dan yang membantu Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari dalam menyiarkan Islam didaerah ini adalah Tuan Raja Setan, Tuan Teraja Nyawa, Said Makhdum, Mataro Sungging, Rio Kenten Bakau, Usang Puno Rajo, Usang Pulau Karam, Usang Dukunb dan Kaharuddin Usang Lebih Baru Ketian.
Makam Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari adalah disebuah pulau diseberang dusun Tanjung Atap dan Pulau ini termasyur dengan sebutan "Pulau Sayid Umar Baginda Sari."
Agama Islam mulai masuk dan disyiarkan didaerah Marga Madang Suku I oleh Tuan Umar Baginda Saleh, yaitu putera tertua dari Sunan Gunung Jati Cirebon (Syarif Hidayatullah), jadi kakak dari Sultan Hasanuddin Banten. Masuk didaerah ini sekitar tahun 1575-1600 M dan yang bertempat tinggal didusun Mandayun, sesudah itu menyiarkan agama Islam didaerah Tanjung Atap Ogan Komering Ilir sampai wafatnya.

Didaerah marga Semendawai Suku III, penyiar agama Islam adalah Tuan Tanjung Idrus Salam atau disebut juga Sayid Ahmad dengan mengambil tempat kedudukan dusun Adumanis. Ulama didaerah Semendawai Suku II dan Suku I sekitar tahun 1600 M adalah Tuan Dipulau atau Sayid Hamimul Hamiem dengan mengambil didusun Negara Sakti.
Dimarga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.

Sejarah singkat Islam di Palembang

Ilustrasi : foto Masjid Agung Palembang
Taken by me

Tulisan ini bukan murni dari pikiran saya tetapi sebatas ingin berbagi literatur pengetahuan sejarah yang saya ketahui seputar masuk dan berkembangnya Islam di Palembang, kampung halaman saya. Semoga dengan hadirnya posting ini, semakin menambah wawasan kebangsaan dan keberagamaan kita, sehingga diharapkan tidak hanya sekedar ikut-ikutan didalam berpahaman sebagaimana yang diajarkan sejak kecil dibangku SD.
Sudah sejak lama “diyakini” bahwa Islam masuk ke Indonesia lewat tangan orang-orang Gujarat dari India dan orang Persia. Dijaman penulis masih bersekolah di SD, SMP dan SMA, anggapan umum yang muncul adalah seperti itu. Buku-buku sejarah Indonesia yang menjadi bahan bacaan kala itu, semuanya mendukung teori tersebut, bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah orang Gujarat dan orang Persia. Pada saat yang sama, kita mengetahui bahwa diberbagai wilayah negeri ini terdapat sebagian penduduk yang berketurunan Arab yang nota-bene beragama Islam. Darimana mereka ini ?
Tentu saja, berarti dahulu terdapat sejumlah orang Arab yang berhijrah kesini. Dan mereka ini adalah Muslim semua. Lalu, apakah mereka saat itu tidak menyebarkan Islam ? Jika memang tidak, berarti orang Arab yang datang ke Indonesia kala itu hanya bertujuan untuk berdagang. Padahal dalam sejarahnya, bangsa Arab selalu membarengi perjalanan dagangnya dengan aktivitas dakwah. Mungkinkah Indonesia terkecualikan dari kebiasaan ini ? Inilah yang menjadi pertanyaan.
Belakangan umat Islam Indonesia beberapa kali mengadakan seminar tentang masuknya Islam di Indonesia, yaitu di Medan (1963), di Minangkabau (1969), di Riau (1975), di Aceh (1978-1980) dan terakhir di Palembang (1984).
Ternyata, kesimpulan semua seminar tersebut sama, yaitu bahwa Islam masuk di Indonesia secara langsung dari negeri Arab, bukan melalui tangan kedua, dan ini sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah.

A. Islam masuk di Sumatera Bagian Selatan
Ahmad Mansur Suryanegara, dalam makalahnya yang berjudul “Masuknya Agama Islam ke Sumatera Selatan” [1] menulis yang dapat penulis simpulkan garis besarnya sebagai berikut :
1. Berdasarkan pada besarnya pengaruh kekuasaan politik Islam dimasa itu, yaitu :
- Khulafaur Rasyidin 632-661 Masehi
- Dinasti Umayyah 661-750 Masehi
- Dinasti Abbasiyah 750-1268 Masehi
- Dinasti Umayyah di Spanyol 757-1492 Masehi
- Dinasti Fatimah di Mesir 919-1171 Masehi

 2. Penguasaan jalan laut perdagangan oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat.
Saat itu bangsa Arab telah menguasai perjalanan laut dari Samudra India yang mereka namakan Samudra Persia kala itu. Sejak pra Islam, maka Teluk Persia dengan pelabuhan Siraf dan Basra sebagai pusat perdagangan antara negara Arab, Persia, Cina dan negara Afrika. Sekitar abad ke-10 Masehi, navigasi perdagangannya sampai ke Korea dan Jepang. Dalam perjalanan perdagangan dengan Cina, Korea, Jepang, ditengah perjalanan di Selat Malaka mengadakan hubungan dagang dengan Zabaj (Sriwijaya).
Seluruh kapal perdagangan yang melewati Selat Malaka singgah untuk mengambil air minum perbekalan lainnya. Beberapa pelabuhan pantai penting artinya bagi pelabuhan perbekalan. Begitulah Sriwijaya menguasai kota-kota pesisir seperti : Lampung, Jambi, Semenanjung Malaka, Tanah Genting Kra, bahkan Srilanka pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11.

3. Islam masuk didaerah Sriwijaya dapatlah dipastikan pada abad ke-7.
Ini mengingat buku sejarah Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti T’ang yang memberitakannya utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 Masehi. Karena Sriwijaya sering dikunjungi pedagang Arab dalam jalur pelayaran, maka Islam saat itu merupakan proses awal Islamisasi atau permulaan perkenalan dengan Islam. 

Apalagi jika di-ingat berita Cina dijaman T’ang tersebut telah ada kampung Arab Muslim di Pantai Barat Sumatera pada tahun 674 Masehi. Seperti halnya di Jawa adanya Makam Islam yang berangka tahun 1082 Masehi, demikian pula di Champa pada tahun 1039 Masehi. Makam-makam ini sudah ada sebelum kekuasaan Islam ada, artinya masih dalam kekuasaan non-Islam kala itu.
4. Seperti dikisahkan oleh penulis Arab yaitu Ibnu Rusta (900 M), Sulaiman (850 M) dan Abu Zaid (950 M), maka hubungan dagang antara Khalifah Abbasiyah (750 M – 1268 M) dengan kerajaan Sriwijaya tetap berlangsung.
Khusus untuk kawasan Sumatera Selatan, masuknya Islam selain oleh Bangsa Arab pedagang utusan dari Dinasti Umayyah (661 – 750 M) dan Dinasti Abbasiyah (750 – 1268 M) juga pedagang Sriwijaya sendiri berlayar kenegara-negara Timur Tengah.
 Selanjutnya Ahmad Mansur Suryanegara [1] menulis bahwa sebenarnya kalau membicarakan masuknya agama Islam ke Indonesia atau ke Sumatera Selatan dengan sengaja meniadakan peranan bangsa Arab, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut hasil interprestasi sejarahnya. Perlu dipertanyakan apakah penulisnya membedakan antara pengertian masuknya Islam dengan telah berkembangnya Islam ?
Drs. M. Dien Majid dalam makalahnya berjudul “Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya” [2] menulis :
Arya Damar, seorang Adipati kerajaan Majapahit di Palembang, secara sembunyi-sembunyi telah memeluk agama Islam, karena diajari oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel) ketika singgah di Palembang dari Champa yang akan meneruskan perjalanannya kekerajaan Majapahit. Kemudian Arya Damar ini yang akhirnya dikenal dengan nama Arya Dillah atau Abdullah, berguru dengan Sunan Ampel di Ampel Denta ketika beliau sudah menetap disini. Dan ketika Arya Damar kembali ke Palembang, ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang bermukim di Palembang.
Dr. Taufik Abdullah dalam makalahnya yang berjudul “Beberapa aspek perkembangan Islam di Sumatera Selatan” [3] menulis :
Van Senenhoven pada tahun 1822 Masehi membawa 55 manuskrip Arab dan Melayu yang ditulis sangat indah serta dijilid rapi yang merupakan kepunyaan Sultan Mahmud Badaruddin.  Raden Fatah yang menurut tradisi historis adalah anak raja Majapahit, Prabu Brawijaya dengan puteri Cina, dilahirkan dan berguru di Palembang.
Maka setidaknya sejak akhir abad ke-16 Palembang merupakan salah satu “enclave” Islam terpenting atau bahkan Pusat Islam dibagian Selatan Pulau Emas ini. Hal ini bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh pedagang Arab Islam pada abad-abad kejayaan Kerajaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tidak pernah melepaskan keterikatannya dengan Palembang sebagai tanah asal.
Kejadian ini berarti peng-Islaman Palembang telah lebih lama daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa, bahkan jauh lebih dahulu dari Sulawesi Selatan (kerajaan Gowa dan kerajaan Laikang). Diceritakan dalam buku sejarah “Sulu Mindanau” bahwa seorang Syarif yang bernama Syarif Abubakar yang berasal dari Palembang, telah menyebarkan Islam ke Sulu dan Mindanau, yang kemudian kawin dengan puteri setempat bernama Paramisuri.
Menurut H. Rusdy Cosim B.A. dalam makalahnya yang berjudul “Sejarah Kerajaan Palembang dan Perkembangan Hukum Islam” [4] mengemukakan :
Menukil kisah pelayaran Sulaiman didalam bukunya Akhbar As Sind Wal Hino yang diterjemahkan oleh R. Ramaudot, terbitan London 1733 Masehi, dinyatakan bahwa : “Seribuza (Sriwijaya) telah dikunjungi oleh orang-orang Arab Muslim, bahkan diantara mereka ini disamping mengadakan hubungan dagang juga menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk dan malah ada yang akhirnya menetap serta kawin dengan wanita setempat.”
Ini memberi keyakinan kepada kita bahwa dengan kutipan diatas bahwa agama Islam telah masuk didaerah Sumatera Selatan pada masa kekuasaan Dapunta Hyang Sriwijaya.
Selanjutnya Rusdi Cosim B.A. juga menulis :
Dimasa Sultan Muhammad Mansur, mencatat nama ulama besar yaitu Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad yang lebih terkenal dengan sebutan Tuan Fakih Jalaluddin yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam didaerah Komering Ilir dan Komering Ulu bersama-sama dengan ulama lainnya yaitu Sayid al-Idrus yang sekaligus merupakan nenek moyang masyarakat dusun Adumanis.
Disamping itu ada pula ulama-ulama dijaman Kesultanan, diantaranya :
1. Kyai Haji Kemas Abdul Somad (K.H.K. Abdul Somad Falembani)
2. Kyai Haji Masagus Abdul Hamid bin Masagus Mahmud (Kyai Marogan) dll.
Masuk dan berkembangnya agama Islam dibawa langsung oleh orang Arab Muslim, terutama akibat pertentangan antara kelompok Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan kelompok Alawiyin. Disamping itu ada juga ulama-ulama dari Iran dan India, tetapi tidak mungkin mengatasi pengaruh Arab, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya.
Menurut Salmad Aly didalam makalahnya yang berjudul “Sejarah Kesultanan Palembang” [5] menulis:
Pada waktu Gede Ing Suro mendirikan Kesultanan Palembang, agama Islam telah lama ada dikawasan ini. Islam masuk Palembang kira-kira pada tahun 1440 M., dibawa oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel). Pada waktu itu Palembang berada dibawah kepemimpinan Arya Damar dan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit.
Mengenai Raden Rachmat ini, diceritakan oleh Arnold sebagai berikut : “Salah seorang puteri raja Campa, sebuah negara kecil di Kamboja, di Timur Teluk Siam, kawin dengan seorang Arab yang datang ke Campa untuk tugas dakwah Islam. Dari perkawinan ini lahir Raden Rachmat yang diasuh dan dididik oleh ayahnya menjadi seorang Islam sejati.”
Selanjutnya, Kyai Gede Ing Suro ini, menurut Faile, adalah turunan Panembahan Palembang dan istrinya asal dari keluarga Sunan Ampel, ia adalah dari garis keturunan Panembahan Parwata, Pangeran Kediri dan Pangeran Surabaya.
Sementara dari sumber-sumber Palembang, diperoleh keterangan bahwa ia adalah putera Sideng Laut, salah seorang turunan Pangeran Surabaya. Dia masih memiliki hubungan silsilah dengan Sayidina Husein, putera dari Ali bin Abu Thalib, sepupu dan menantu langsung dari Nabi Muhammad Saw dari puteri kandung beliau Fatimah az-Zahra. Salah seorang cucu Sayidina Husein merantau ke Campa, memperistrikan salah seorang puteri Campa yang kemudian melahirkan Maulana Ishaq dan Maulana Ibrahim.
Orang-orang Arab pada masa ini terdaftar sekitar 500 Jiwa yang kebanyakan tinggal ditepi sungai Musi, diantara mereka ada yang mendapat gelar dari Sultan, seperti Pangeran Umar. Mereka sering membantu Sultan ketika dibutuhkan.
Pada waktu Belanda menyerang Palembang tahun 1821 Masehi (dimasa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II yang akhirnya diasingkan ke Ternate), benteng Sultan dikepulauan Kemaro dan Plaju dipertahankan oleh orang-orang Arab. Hampir semua meriam dikedua benteng ini dipegang oleh orang-orang Arab. 
Drs. Barmawie Umary didalam makalahnya “Masuknya Islam didaerah Ogan Komering Ulu dan Komering Ilir” [6] menulis :
Ada tiga orang ulama yang paling berpengaruh didaerah Komering Ulu dan Komering Ilir :
1. Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari/Raden Amar/Ratu Panembahan.
2. Tuan Tanjung Darus (Idrus) Salam
3. Tuan Dipulau/Said Hamimul Hamiem.
Ketiganya dikenal dengan populer oleh masyarakat sebagai Waliullah pembawa agama Islam. Keturunan seorang putera yaitu Raja Montik berputera Kyai Djaruan berputera Tuan Penghulu I berputera Tuan Ketip Kulipah I berputera Tuan Ketip Kulipah II yang berputera 2 orang; yaitu Tuan Penghulu II dan adiknya adalah Tuan Labai/Kyai Labai Djamal.
Dan yang membantu Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari dalam menyiarkan Islam didaerah ini adalah Tuan Raja Setan, Tuan Teraja Nyawa, Said Makhdum, Mataro Sungging, Rio Kenten Bakau, Usang Puno Rajo, Usang Pulau Karam, Usang Dukunb dan Kaharuddin Usang Lebih Baru Ketian.
Makam Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari adalah disebuah pulau diseberang dusun Tanjung Atap dan Pulau ini termasyur dengan sebutan “Pulau Sayid Umar Baginda Sari.”
Agama Islam mulai masuk dan disyiarkan didaerah Marga Madang Suku I oleh Tuan Umar Baginda Saleh, yaitu putera tertua dari Sunan Gunung Jati Cirebon (Syarif Hidayatullah), jadi kakak dari Sultan Hasanuddin Banten. Masuk didaerah ini sekitar tahun 1575-1600 M dan yang bertempat tinggal didusun Mandayun, sesudah itu menyiarkan agama Islam didaerah Tanjung Atap Ogan Komering Ilir sampai wafatnya.
Didaerah marga Semendawai Suku III, penyiar agama Islam adalah Tuan Tanjung Idrus Salam atau disebut juga Sayid Ahmad dengan mengambil tempat kedudukan dusun Adumanis. Ulama didaerah Semendawai Suku II dan Suku I sekitar tahun 1600 M adalah Tuan Dipulau atau Sayid Hamimul Hamiem dengan mengambil didusun Negara Sakti.
Dimarga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.
Catatan Kaki :
 [1] Ahmad Mansur Suryanegara, Masuknya Agama Islam ke Sumatera Selatan, Majlis Ulama Daerah Tk. I Sumatera Selatan, Palembang 1984.
[2] Drs. M. Dien Majid, Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya, Majlis Ulama Daerah Tk. I Sumatera Selatan, Palembang 1984.
[3] Dr. Taufik Abdullah, Beberapa aspek perkembangan Islam di Sumatera Selatan, Majlis Ulama Daerah Tk. I Sumatera Selatan, Palembang 1984.
[4] H. Rusdy Cosim B.A, Sejarah Kerajaan Palembang dan Perkembangan Hukum Islam, Sekretariat Panitia Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Palembang 1984.
[5] Salman Aly, Sejarah Kesultanan Palembang, Sekretariat Panitia Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Palembang 1984.
[6] Drs. Barmawie Umary, Masuknya Islam didaerah Ogan Komering Ulu dan Komering Ilir, Sekretariat Panitia Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Palembang 1984.